Pasar cryptocurrency dikenal dengan volatilitas tinggi dan siklus naik-turun yang kerap terprediksi, terutama terkait fenomena Bitcoin Halving setiap empat tahun sekali. Namun, menurut Sandeep Nailwal, salah satu pendiri Polygon, pola ini mulai kehilangan “taringnya”. Dalam wawancara eksklusif bersama Cointelegraph, Nailwal menyatakan bahwa siklus empat tahunan yang selama ini menjadi ritme pasar crypto akan semakin kurang terasa. Penyebab utamanya? Kematangan crypto sebagai kelas aset dan derasnya partisipasi investor institusional.
Mengenal Siklus Empat Tahunan Crypto dan Kaitannya dengan Bitcoin Halving
Sejak Bitcoin diluncurkan pada 2009, pasar crypto kerap bergerak dalam pola siklus empat tahunan yang erat kaitannya dengan halving—pemotongan separuh imbalan penambangan Bitcoin. Setiap kali halving terjadi, pasokan Bitcoin baru melambat, memicu kenaikan harga yang diikuti bull run (kenaikan masif), lalu berakhir dengan crash atau penurunan hingga 90%. Siklus ini telah terulang setidaknya tiga kali: 2012, 2016, dan 2020.
Namun, Nailwal meyakini pola ini tak akan lagi seekstrem dulu. “Dulu, penurunan 90% antar-siklus adalah hal normal. Sekarang, kami memperkirakan penurunan hanya 30-40%, terutama untuk aset crypto blue-chip seperti Bitcoin atau Ethereum,” ujarnya. Menurutnya, hal ini menandai fase baru di mana crypto tak lagi sekadar aset spekulatif, melainkan bagian dari portofolio investasi global.
Kematangan Pasar dan Investor Institusi: Kunci Perubahan Siklus
Nailwal menekankan dua faktor utama yang mengubah dinamika siklus crypto:
- Adopsi Institusional: Kehadiran perusahaan seperti BlackRock, Fidelity, dan bank sentral yang mulai mengakomodasi crypto menciptakan stabilitas. Dana besar dari lembaga ini mengurangi fluktuasi harga drastis.
- Regulasi yang Jelas: Kerangka hukum di AS, Uni Eropa, dan Singapura memberi kepastian bagi investor, sehingga panic selling (penjualan panik) berkurang.
“Investor retail dulu dominan, tapi sekarang institusi punya porsi besar. Mereka tak mudah terpancing FOMO (Fear of Missing Out) atau FUD (Fear, Uncertainty, Doubt). Ini membuat koreksi harga lebih terkendali,” tambah Nailwal.
Dampak Suku Bunga AS dan Likuiditas pada Harga Crypto
Meski optimis dengan kematangan pasar, Nailwal tak menampik bahwa harga crypto masih rentan terhadap faktor makroekonomi global. Ia menyebut suku bunga tinggi di AS dan ketatnya likuiditas sebagai penyebab utama pelemahan harga crypto belakangan ini. “Ketika suku bunga naik, investor cenderung menarik dana dari aset berisiko seperti crypto ke instrumen yang lebih aman, contohnya obligasi pemerintah,” jelasnya.
Namun, ia meyakini ini hanya bersifat sementara. “Begitu The Fed (Bank Sentral AS) mulai menurunkan suku bunga—yang mungkin terjadi tahun depan—likuiditas akan mengalir deras kembali ke crypto. Saat itulah kita bisa melihat pemulihan signifikan,” paparnya.
Masa Depan Pasca-Siklus: Apa yang Perlu Diantisipasi Investor?
Nailwal memberikan tiga poin kunci untuk investor dalam menghadapi transisi ini:
- Fokus pada Aset Blue-Chip: Bitcoin, Ethereum, dan aset dengan utilitas jelas (seperti Polygon) akan lebih stabil dibanding altcoin kecil.
- Manajemen Risiko: Meski penurunan antar-siklus diprediksi lebih kecil, diversifikasi portofolio tetap wajib.
- Peran Teknologi Blockchain: Inovasi seperti zero-knowledge proof dan layer-2 solutions akan mendorong adopsi massal, memperkuat fundamental harga.
Kesimpulan:
Pernyataan Sandeep Nailwal bukan sekadar prediksi, melainkan cerminan evolusi pasar crypto yang semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Meski Bitcoin Halving tetap memengaruhi psikologi pasar, dominasi investor institusi dan kerangka regulasi yang solid telah menggeser narasi crypto dari “aset liar” menjadi bagian legitimat sistem keuangan. Bagi investor, ini kabar baik: volatilitas tetap ada, tetapi dengan risiko yang lebih terukur dan peluang yang lebih berkelanjutan.