Perusahaan teknologi Strategy, sebelumnya dikenal sebagai MicroStrategy, kembali menegaskan posisinya sebagai pemegang Bitcoin (BTC) terbesar di kalangan korporasi global. Pada Senin (15/9/2025), perusahaan yang dipimpin Michael Saylor itu mengumumkan pembelian 20.000 BTC senilai sekitar $1,98 miliar—akuisisi terbesar sejak mereka memulai strategi akumulasi aset kripto pada 2020. Langkah ini didanai dari hasil penjualan saham senilai $2 miliar yang diumumkan pekan lalu, sekaligus mempertegas komitmen Strategy pada visi Bitcoin sebagai “penyimpan nilai masa depan.”
Dengan akuisisi terbaru ini, total kepemilikan Strategy mencapai 350.000 BTC—setara dengan 1,67% dari total pasokan Bitcoin yang akan pernah ada. Nilainya mencapai $34 miliar berdasarkan harga BTC per 16 September 2025 ($97.200 per keping). Namun, antusiasme Strategy berbanding terbalik dengan kinerja sahamnya. Sejak Juni 2025, saham MSTR anjlok 32% meski perusahaan konsisten menambah cadangan Bitcoin. Penurunan ini memicu pertanyaan tentang risiko ketergantungan berlebihan pada aset volatil.
Dari Software BI ke Gudang Bitcoin
Strategy bukanlah pemain baru dalam lini masa Bitcoin. Sejak Agustus 2020, perusahaan yang awalnya bergerak di bidang business intelligence ini mulai mengalihkan kasnya ke Bitcoin, mengikuti keyakinan Saylor bahwa inflasi akan menggerus nilai aset tradisional. Keputusan itu awalnya dianggap nekat, tetapi total keuntungan belum direalisasi (unrealized gain) Strategy pernah menyentuh $12 miliar saat BTC mencapai rekor $150.000 di 2024.
“Bitcoin adalah inovasi moneter terpenting dalam 10.000 tahun terakhir,” tegas Saylor dalam konferensi pers virtual. “Kami tidak menjual satupun BTC yang kami beli. Ini adalah strategi jangka panjang untuk melindungi nilai pemegang saham.”
Namun, analis Wall Street mulai mempertanyakan keberlanjutan model ini. Sejak 2023, Strategy mengandalkan penjualan saham (equity offering) dan obligasi konversi (convertible notes) untuk membiayai pembelian Bitcoin. Hingga Agustus 2025, perusahaan telah mengumpulkan $8 miliar melalui mekanisme ini—tapi utang yang harus dibayar pada 2027 mencapai $3,5 miliar.
Volatilitas Bitcoin dan Efek Domino ke Saham
Korelasi kuat antara harga Bitcoin dan saham MSTR menjadi beban tersendiri. Data Bloomberg menunjukkan, dalam 12 bulan terakhir, koefisien korelasi MSTR dengan BTC mencapai 0,89 (skala 0-1), lebih tinggi daripada perusahaan kripto seperti Coinbase (0,72) atau Marathon Digital (0,81). Artinya, setiap gejolak Bitcoin langsung berdampak pada valuasi Strategy.
Contoh nyata terjadi pada kuartal II/2025, saat BTC terkoreksi 22% akibat ketegangan regulasi di Uni Eropa. Saham MSTR merosot 41%—lebih dalam daripada indeks kripto secara umum. “Investor mulai sadar bahwa Strategy bukan perusahaan teknologi, melainkan proxy untuk bertaruh pada Bitcoin,” kata Clara Wijaya, analis sekuritas di NH Korindo.
Kekhawatiran lain muncul dari metode akuntansi Strategy. Sesuai standar akuntansi AS, perusahaan tidak mencatat kerugian belum direalisasi (unrealized loss) jika harga BTC turun, asalkan mereka tidak menjualnya. Tapi, jika harga BTC jatuh di bawah biaya perolehan rata-rata ($35.000 per BTC untuk Strategy), neraca keuangan perusahaan bisa terlihat rapuh.
Respons Pasar: Antara Keyakinan dan Keraguan
Reaksi pasar atas akuisisi terbaru ini terbelah. Di satu sisi, komunitas kripto menyambut positif langkah Strategy sebagai penguat legitimasi Bitcoin. “Ini bukti bahwa aset digital sudah diakui sebagai bagian dari strategi treasury perusahaan,” ujar Ian Budiman, CEO platform investasi kripto Tokocrypto.
Di sisi lain, analis tradisional mengingatkan risiko konsentrasi aset. Laporan Morgan Stanley menyebutkan, 95% nilai pasar Strategy berasal dari kepemilikan Bitcoin—sisanya dari unit bisnis perangkat lunak yang stagnan. “Jika Bitcoin kolaps, tidak ada backup plan yang bisa menyelamatkan perusahaan,” tulis analisnya, Kevin Lee.
Perbandingan dengan Tesla juga relevan. Pada 2025, kepemilikan Bitcoin Tesla tetap di 10.000 BTC tanpa tambahan, sementara Block (mantan Square) lebih agresif dengan 50.000 BTC. Tapi, kedua perusahaan itu memiliki arus kas operasional positif, berbeda dengan Strategy yang bergantung pada pasar modal.
Masa Depan Strategy: Bertahan atau Terguling?
Michael Saylor tampaknya tidak gentar. Dalam wawancara eksklusif dengan CNBC, ia menyebut penurunan saham sebagai “gangguan sementara.” “Pada 2030, dunia akan melihat Bitcoin sebagai aset moneter utama. Kami hanya perlu bertahan,” katanya.
Namun, matematika keuangan tidak selalu seoptimis itu. Jika harga BTC turun di bawah $30.000—level terendah sejak 2023—Strategy bisa menghadapi margin call atas pinjaman yang dijaminkan dengan Bitcoin. Selain itu, tekanan pemegang saham untuk diversifikasi aset mungkin mengganggu rencana Saylor.
Di tengah ketidakpastian ini, satu hal pasti: Strategy telah menulis babak baru dalam sejarah keuangan—perusahaan pertama yang mengorbankan stabilitas jangka pendek untuk sebuah keyakinan visioner. Apakah ini akan menjadi kisah sukses atau peringatan tentang bahaya fandom kripto? Harga Bitcoin dalam 5 tahun ke depan mungkin menjadi hakimnya.