Nike Digugat Class Action AS karena NFT Anjlok Usai Tutup Unit RTFKT

Nike Digugat Class Action AS karena NFT Anjlok Usai Tutup Unit RTFKT

Sebuah gugatan class action mengguncang dunia aset digital setelah sekelompok pembeli NFT yang dipimpin warga Australia, Jagdee Cheema, menuntut Nike di pengadilan New York. Mereka menuduh penutupan mendadak unit divisi digital RTFKT pada Desember 2024 menyebabkan nilai dan permintaan NFT koleksi mereka merosot drastis. Gugatan yang diajukan Jumat (7/3/2025) ini menuntut ganti rugi lebih dari $5 juta, dengan dakwaan pelanggaran undang-undang perlindungan konsumen di empat negara bagian AS.

Latar Belakang: Dari Akuisisi Ambisius hingga Penutupan Misterius
Nike pertama kali menggaet RTFKT (diucapkan “artifact”) pada Desember 2021, di puncak demam NFT. Perusahaan yang berbasis di London ini dikenal lewat karya digital inovatif, seperti sepatu virtual limited edition dan avatar metaverse. Akuisisi ini disebut-sebut sebagai langkah strategis Nike untuk “menguasai masa depan budaya digital”.

Selama tiga tahun, RTFKT meluncurkan puluhan NFT bertema Nike, termasuk koleksi “Cryptokicks” yang memungkinkan pemiliknya merancang sepatu virtual menggunakan teknologi blockchain. Pada 2023, NFT edisi spesial seperti “Air Max 2095” bahkan terjual hingga 5 ETH (setara $15.000 saat itu) per unit. Namun, antusiasme itu berbalik arah ketika Nike tiba-tiba mengumumkan penutupan RTFKT pada 15 Desember 2024 tanpa penjelasan rinci.

Dampak Langsung: NFT yang “Tiba-tiba Jadi Usang”
Menurut dokumen gugatan, nilai rata-rata NFT koleksi RTFKT anjlok 70-90% dalam sepekan setelah pengumuman tersebut. Sebuah NFT “Dunk Genesis” yang sempat dihargai $22.000 pada November 2024, misalnya, kini hanya bernilai $1.500 di pasar sekunder.

Cheema, yang menginvestasikan $180.000 dalam proyek RTFKT, menyatakan Nike gagal memenuhi janji dukungan jangka panjang. “Mereka menjual NFT sebagai bagian dari ekosistem eksklusif, tapi tiba-tiba mematikan server dan komunitas. Ini seperti membeli tiket ke klub elit, lalu klubnya dibakar,” ujarnya lewat pernyataan tertulis.

Klaim Hukum: Apakah NFT Termasuk “Sekuritas”?
Gugatan ini mengajukan dua pasal utama:

  1. Pelanggaran Janji Bisnis: Nike didakwa tidak memberikan dukungan teknis dan promosi yang dijanjikan saat penjualan NFT.
  2. Klasifikasi Sekuritas: Penggugat berargumen bahwa NFT RTFKT memenuhi kriteria Howey Test—alat hukum AS untuk menentukan apakah suatu aset termasuk sekuritas. Jika diterima, Nike bisa terbukti melanggar aturan registrasi sekuritas.

Status hukum NFT masih menjadi perdebatan global. Di AS, Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) belum memiliki keputusan final, meski pada 2023 mereka menginvestigasi platform NFT Yuga Labs. Sementara itu, pengacara Nike diperkirakan akan membantah klaim ini dengan alasan NFT murni sebagai “koleksi digital” tanpa janji keuntungan.

Tuntutan $5 Juta dan Dimensi Multistate
Tidak seperti kebanyakan gugatan NFT yang fokus pada satu yurisdiksi, kasus ini mencakup empat negara bagian:

  • New York: Melanggar Consumer Protection Act terkait praktik penjualan menyesatkan.
  • California: Dakwaan Unfair Competition Law karena merusak ekosistem NFT.
  • Florida dan Oregon: Tuntutan berdasarkan kerugian ekonomi langsung pembeli.

Menurut Prof. Amanda Lee, pakar hukum digital di Stanford University, pendekatan multistate ini sengaja dipilih untuk memperkuat posisi tawar. “Dengan menggabungkan undang-undang dari negara bagian progresif seperti California, penggugat bisa menekan Nike untuk bernegosiasi di luar pengadilan,” jelasnya.

Respons Nike dan Implikasi ke Depan
Hingga berita ini ditulis, Nike belum memberikan pernyataan resmi. Namun, sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengaku penutupan RTFKT disebabkan restrukturisasi fokus pada “proyek digital yang lebih terintegrasi dengan produk fisik”.

Analis pasar kripto memprediksi kasus ini akan jadi batu ujian bagi industri. “Jika pengadilan memenangkan penggugat, perusahaan besar akan berpikir dua kali sebelum meluncurkan NFT. Sebaliknya, kemenangan Nike bisa memicu gelombang PHK di divisi Web3,” ujar Marco Santori, CEO firma konsultan Blockchain Legal.

Masa Depan NFT: Antara Inovasi dan Regulasi
Kasus Nike vs Cheema menggarisbawahi dilema utama di ruang digital: Bagaimana melindungi konsumen tanpa meredam inovasi? Di Eropa, Regulasi MiCA (Markets in Crypto-Assets) yang berlaku 2024 sudah mengklasifikasikan NFT sebagai aset digital dengan persyaratan transparansi ketat. AS sendiri masih tertinggal, mengandalkan patokan hukum yang ada.

Bagi investor retail seperti Cheema, solusi idealnya adalah adanya payung hukum yang jelas. “Kami tidak anti-inovasi, tapi kami ingin perusahaan seperti Nike bertanggung jawab. Jika mereka bisa menjual sepatu fisik dengan garansi, mengapa NFT tidak?” tukasnya.

Sementara itu, pasar NFT global masih berjuang pulih dari krisis 2024. Data DappRadar menunjukkan volume perdagangan NFT turun 78% sejak puncaknya di 2022. Kemenangan penggugat dalam kasus ini mungkin bisa menjadi katalis untuk membangun kepercayaan baru—atau justru paku terakhir untuk peti mati NFT.

Sebagai penutup, nasib gugatan ini akan sangat bergantung pada kemampuan kedua belah pihak membuktikan klaimnya. Sidang pertama dijadwalkan pada Juni 2025, dan seluruh mata industri akan tertuju pada ruang pengadilan Manhattan. Satu hal yang pasti: Hasilnya akan mengubah cara perusahaan dan konsumen berinteraksi di dunia digital.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *