Lazarus Group Cuci Uang Hasil Peretasan Bybit Senilai $1,5 Miliar via THORChain, Komunitas Crypto Protes!

Lazarus Group Cuci Uang Hasil Peretasan Bybit Senilai $1,5 Miliar via THORChain, Komunitas Crypto Protes!

Kelompok peretas Lazarus Group kembali memicu kehebohan setelah berhasil mencucikan uang hasil peretasan exchange kripto Bybit senilai $1,5 miliar (sekitar Rp22,5 triliun). Melalui platform decentralized exchange (DEX) THORChain, kelompok yang diduga terkait pemerintah Korea Utara ini mengonversi Ethereum (ETH) ke Bitcoin (BTC) dalam skala masif. Transaksi ini menimbulkan kritik pedas terhadap THORChain, yang dituding memfasilitasi pencucian uang meski mengambil biaya hingga $3 juta.

Rantai Transaksi yang Memicu Kecaman

Menurut laporan blockchain analytics dari Elliptic, Lazarus Group mulai memindahkan aset ETH hasil peretasan Bybit pada Januari 2025. ETH senilai $1,5 miliar tersebut dikonversi ke BTC secara bertahap melalui THORChain, sebuah DEX yang memungkinkan pertukaran cross-chain tanpa perlu custodian (penitipan aset). Proses ini selesai dalam kurun dua bulan, dengan total biaya jaringan (gas fee) mencapai $3 juta—angka yang langsung menuai protes karena dianggap sebagai “keuntungan dari kejahatan”.

THORChain, yang selama ini dipromosikan sebagai alternatif aman dan tanpa izin, membantah semua tuduhan. Dalam pernyataan resminya, tim pengembang menyatakan, “THORChain adalah protokol sumber terbuka yang dijalankan oleh node terdesentralisasi. Kami tidak memiliki kewenangan untuk membekukan atau memantau transaksi, sebagaimana bank atau exchange terpusat.”

Apa Itu THORChain dan Mengapa Kontroversial?

Bagi yang belum familiar, THORChain adalah protokol swap aset kripto lintas blockchain tanpa perantara. Misalnya, pengguna bisa menukar BTC langsung ke ETH tanpa melalui pihak ketiga. Sistem ini dijalankan oleh validator yang tersebar global, dengan insentif biaya transaksi.

Kelebihan THORChain adalah privasi dan kebebasan transaksi. Namun, fitur ini menjadi bumerang ketika digunakan untuk aktivitas ilegal. “Platform seperti THORChain ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka mendukung inklusi keuangan; di sisi lain, bisa disalahgunakan pelaku kejahatan,” ujar Alice Hartono, analis keamanan siber di CryptoSec.

Biaya $3 Juta: Keuntungan atau Dosa?

Sorotan utama dalam kasus ini adalah biaya $3 juta yang dibayarkan Lazarus Group ke validator THORChain. Meski protokol ini tidak dikelola oleh perusahaan tertentu, para validator—yang menjalankan node—mendapatkan pendapatan dari setiap transaksi.

Banyak pihak menuntut THORChain mengembalikan biaya tersebut. “Mereka mungkin tidak bisa menghentikan transaksi, tapi mengambil keuntungan dari uang haram itu tidak etis,” kritik Andi Wijaya, anggota komunitas Crypto Indonesia. Namun, validator THORChain beralasan bahwa biaya tersebut adalah imbalan teknis atas layanan jaringan, bukan bagian dari pencucian uang.

Dilema Desentralisasi vs. Regulasi

Kasus ini kembali memicu perdebatan klasik di dunia kripto: sejauh mana platform terdesentralisasi harus bertanggung jawab? THORChain berargumen bahwa desentralisasi adalah inti dari Web3, sehingga kontrol pusat bertentangan dengan filosofi tersebut.

Namun, regulator global mulai menyoroti celah ini. Uni Eropa, misalnya, sedang menyusun aturan Travel Rule untuk DEX, yang mewajibkan platform mengumpulkan data pengguna—kebijakan yang sulit diterapkan di sistem tanpa izin seperti THORChain. “Jika protokol ini terus dipakai untuk kejahatan, tekanan regulasi akan semakin besar. Ini bisa merugikan seluruh ekosistem DeFi,” tambah Hartono.

Pelajaran untuk Investor dan Komunitas

Insiden ini memberikan beberapa pelajaran krusial:

  1. Transparansi Blockchain Bukan Jaminan Keamanan: Meski semua transaksi tercatat di blockchain, pelacakan dana ilegal tetap rumit jika aset sudah dikonversi antar chain.
  2. Risiko Investasi di Platform Terdesentralisasi: DEX seperti THORChain menawarkan kebebasan, tetapi juga minim proteksi hukum.
  3. Peran Aktif Komunitas: Validator dan pengguna bisa mengusulkan governance untuk memblokir alamat mencurigakan, meski ini bertentangan dengan prinsip netralitas.

Masa Depan THORChain Pasca-Skandal

THORChain belum memberikan komitmen jelas tentang perubahan kebijakan. Namun, beberapa validator independen mengaku sedang mempertimbangkan sistem screening berbasis AI untuk mendeteksi transaksi mencurigakan. Langkah ini tetap kontroversial karena berpotensi melanggar prinsip permissionless.

Sementara itu, harga token RUNE (aset native THORChain) anjlok 15% dalam 24 jam pasca-pemberitaan ini. Para investor kini mempertanyakan prospek jangka panjang protokol yang terjebak antara idealisme dan realitas keamanan siber.

Kata Terakhir dari Pakar

Lo Kheng Hong, investor senior yang kerap disebut “Warren Buffett-nya Indonesia”, memberi peringatan: “Teknologi blockchain itu seperti api. Bisa memasak makanan atau membakar rumah. Jangan sampai kita lengah hanya karena tergiur potensi profit.”

Sebagai penutup, kasus Lazarus Group dan THORChain mengingatkan kita bahwa inovasi finansial harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Tanpa keseimbangan ini, dunia kripto hanya akan menjadi surga bagi para pelaku ilegal.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *